Pengikut

Sabtu, 07 April 2012

KEJAYAAN ISLAM DI NUSANTARA


(Analisis Historis Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara 
sebelum Penjajahan Belanda)

A.    PENDAHULUAN
Islam sebagai salah satu agama dunia dikenal sebagai agama samawi>y atau agama wahyu yang langsung turun dari Allah. Islam dibawa oleh Nabi Muhammad dengan risalahnya yang agung yang berupa kitab suci al-Quran telah berhasil berkembang dengan pesat dan diterima di berbagai Negara.
Proses Islamisasi juga terjadi secara cepat di wilayah Asia Tenggara khususnya di Indonesia. Ada dua pendapat mengenai masuknya Islam di Indonesia. Pertama, pendapat lama, yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13 M. pendapat ini dikemukakan oleh para sarjana antara lain, N. H. Krom dan Van Den Berg yang kemudian pendapat tersebut mendapat sanggahan dan bantahan.[1]Kedua, pendapat baru yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M atau abad ke-1 H. Pendaat baru ini dikemukakan oleh H. Agus Salim, Zainal Arifin Abbas, Hamka, Alwi bin T{a>hir al-H{aadda>d, A. Hasjmi, dan Thomas W. Arnold.[2]
Pendapat kedua tersebut juga diperkuat oleh pendapat Harry W. Hazard dalam bukunya Atlas of Islamic History  sebagaimana dikutip oleh Sarijo. Dia menuliskan bahwa orang Islam yang pertama mengunjungi Indonesia kemungkinan besar adalah saudagar Arab pada abad ke-7  yang singgah di Sumatera dalam perjalanan menuju ke Cina. Menyusul mereka adalah saudagar dari Gujarat yang berdagang lada dan yang telah membangun sejak tahun 1100 Percampuran yang unik antara perdagangan dengan usaha mengembangkan Islam di Indonesia.[3]
Fakta tersebut membuktikan bahwa Islam telah dikenal dan diterima di Indonesia sejak lama, dan sejak itulah Islam terus berkembang dengan pesat. Namun yang perlu diketahui adalah kedatangan Islam di berbagai daerah di Indonesia tidaklah bersamaan. Demikian juga kerajaan-kerajaan dan daerah-daerah yang didatangi para muballigh mempunyai situasi politik dan sosial yang berbeda.
Kerajaan Sriwijaya misalnya, mulai memasuki masa kemunduran pada abad ke-12 M. Kemunduran Sriwijaya ini dipercepat oleh usaha-usaha Kerajaan Singasari yang sedang bangkit di Jawa. Kelemahan Sriwijaya ini dimanfaatkan oleh para muballigh untuk mendapatkan keuntungan politik dan perdagangan. Mereka mendukung daerah-daerah yang menyatakan diri sebagai kerajaan yang bercorak Islam, yaitu Kerajaan Samudera Pasai yang terletak di pesisir timur laut Aceh. Akhirnya kerajaan Begitu juga dengan Kerajaan Singasari, akibat kekacauan dalam  negeri sendiri sebagai akibat perebutan kekuasaan, juga tidak mampu mengontrol daerah Melayu dan Selat Malaka dengan baik, sehingga Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka dapat berkembang dan mencapai puncak kekuasaannya hingga abad ke-16 M.
Kerajaan Majapahit pun demikian, sepeninggal Gajah Mada tahun 1364 dan disusul Hayam Wuruk pada tahun 1389 M, situasi Majapahit mengalami keguncangan. Kelemahan-kelemahan yang semakin lama semakin memuncak, akhirnya menyebabkan Kerajaan Majapahit seakin melemah. Akhirnya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Budha semakin melemah dan tidak memiliki kekuasaan yang berarti.[4]
Tidak lama kemudian muncul beberapa kerajaan Islam di penjuru Nusantara seiring dengan pengembangan ajaran agama Islam di Indonesia. Di daerah Sumatera muncul Kerajaan Samudera Pasai (abad ke-13 M), kemudian diteruskan oleh Kerajaan Aceh Darussalam (abad ke-15 M). Di Darah Jawa muncul Kerajaan Demak, kerajaan Pajang, dan lain-lain. Di daerah Kalimantan muncul kerajaan Banjar dan Kerajaan Kutai. Di daerah Sulawesi muncul kerajaan kembar Gowa dan Tallo, Kerajaan Bone, dan lain-lain. Di daerah Maluku muncul Kerajaan Ternate dan Tidore.
Dari uraian di atas, maka makalah ini akan mencoba menguraikan kejayaan Islam di Nusantara dengan menelaah secara historis kerajaan-kerajaan Islam yang terdapat di Nusantara. Kerajaan-kerajaan yang dimaksud dalam makalah ini adalah kerajaan-kerajaan yang muncul dan berkembang sebelum masa penjajahan kolinial Belanda.

B.     KERAJAAN-KERAJAAN  ISLAM DI SUMATERA
Pulau Sumatera yang letaknya berdekatan dengan semenanjung Malaka meupakan pulau yang sangat strategis, terutama wilayah Aceh. Aceh merupakan wilayah yang dijadikan jalur lalulintas internasional, sehingga kontak perdagangan dunia dengan Aceh telah dimulai sejak adanya kehidupan dan sejak tumbuhnya peradaban di Nusantara.[5] Hubungan antarbangsa yang dijalin orang Aceh pada awalnya adalah melalui hubungan bisnis. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya saudagar dari Arab dan India mencari rempah-rempah di Sumatera untuk dibawa melalui India dan selanjutnya diteruskan ke Timur Tengah. Dai interaksi antarbangsa tersebut dapat dipastikan juga terjadi akulturasi budaya dan ajaran agama terutama agama Islam. Dari interaksi tersebut Islam mulai berkembang dan berdirilah kelompok-kelompok yang memproklamirkan dri sebagai kelompok muslim dan selanjutnya berkembang menjadi sebuah kerajaan. Berikut akan dijelaskan beberapa kerajaan yang terdapat di pulau Sumatera. 
1. Kerajaan Perlak
Kerajaan Perlak adalah kerajaan islam pertama di Nusantara. Kerajaan ini berdiri pada abad ke-3 Hijriyah (Abad ke-9 M).[6] Hal ini juga didukung dengan adanya seminar yang diadakan di Aceh. Berdasarkan seminar “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara” tahun 1980 di Rantau Kuala Simpang, Aceh Timur, memang telah diputuskan bahwa kerajaan Islam pertama di aceh dan Nusantara adalah kerajaan Islam Perlak (Peureulak). Kesimpulan ini didasarkan pada sebuah dokumen tertua yaitu kita “Iz}ha>r al-H{aqq”  karangan Abu> Ish}aq al-Makaraniy al-Fassiy. Kitab ini menurut A. Hasjmy merupakan salah satu sumber yang meyakinkan tentang pernah adanya kerajaan Islam Perlak sebagai kerajaan Islam pertama di Aceh Nusantara.[7]
Disebutkan pada tahun 173 H, sebuah kapal layar berlabuh di Bandar Perlak membawa angkatan dakwah di bawah Pimpinan nahkoda khalifah. Kerajaan Perlak didirikan oleh Sayyid Abdul Aziz (Raja pertama Kerajaan Perlak) dengan gelar Sultan Alaidin Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah. Menurut A. Hasjmy nahkoda khalifah diduga berasal dari keturunan Bani Khalifah yang berasal dari jazirah Arab.
Slamet Muljana menyatakan bahwa pada akhir abad ke-12, di pantai timur Suatera terdapat Negara Islam bernama Perlak. Nama itu kemudian dijadikan Peureulak, didirikan oleh para pedagang asing dari Mesir, Maroko, Persi, dan Gujarat yang menetap di wilayah itu sejak awal abad ke-12. Pendirinya adalah orang Arab suku Quraysh. Pedagang Arab itu menikah dengan putrid pribumi, keturunan Raja Perlak. Setelah dinobatkan menjadi sultan negeri Perlak, orang tersebut bernama Alaudin Syah. Demikianlah ia dikenal sebagai Sultan Alaidin Syah dari negeri Perlak.[8]
Adapun para raja Kerjaan perlak adalah sebagai berikut:
a.       Sultan Alaidin Sayyid Maulana Abdul Aziz Syah (840-864 M)
b.      Sultan Alaidin Maulana Abdul rahim Syah (864-888 M)
c.       Sultan Alaidin Sayyid Maulana Abbas Syah (888-913 M)
d.      Sultan Alaidin Sayyid Maulana Ali Mughayyat Syah (913-918 M) terjadi pergolakan (918-928 M)
e.       Sultan Makhdum Alaidin Malik abdul Kadir Syah Johan Bardaulat (928-932 M)
f.       Sultan Makhdum Abdul Malik Ibrahin Syah Johan Bardaulat (956-983M)

2. Kerajaan Samudera Pasai
Pasai didirikan pada abad ke-11 oleh Meurah Khair. Kerajaan ini terletak dipesisir Timur Laut Aceh. Pendiri dan raja pertama Kerajaan  Samudra  Pasai  adalah  Meurah  Khair.  Ia  bergelar  Maharaja  Mahmud  Syah  (1042-1078).  Pengganti  Meurah  Khair  adalah  Maharaja  Mansyur  Syah  dari  tahun  1078-1133. Pengganti Maharaja Mansyur Syah adalah Maharaja Ghiyasyuddin Syadari tahun 1133-1155.
Raja Kerajaan Samudra Pasai berikutnya adalah Meurah Noe yang bergelar Maharaja Nuruddin  berkuasa  dari  tahun1155-1210.  Raja  ini  dikenal  juga  dengan  sebutan  Tengku Samudra atau Sulthan Nazimuddin Al-Kamil. Sultan ini sebenarnya berasal dari Mesir yang ditugaskan sebagai laksamana untuk merebut pelabuhan di Gujarat. Raja ini tidak memiliki keturunan  sehingga  pada  saat  wafat,  kerajaan  Samudra  Pasai  dilanda  kekacauan  karena perebutan kekuasaan.
Berikutnya muncullah Meurah Silu bergelar Sultan Malik al-Saleh (1261-1297). Meurah Silu adalah keturunan Raja  Perlak yang  mendirikan  dinasti  kedua  kerajaan  Samudra  Pasai. Pada masa pemerintahannya,   sistem pemerintahan kerajaan dan angkatan perang laut dan darat sudah terstruktur rapi. Kerajaan mengalami kemakmuran, terutama setelah Pelabuhan Pasai dibuka. Hubungan Kerajaan Samudra Pasai dan Perlak berjalan harmonis. Meurah Silu memperkoko hubungan   ini   dengan   menikah putri   Ganggang   Sari anak   Raja   Perlak. Meurah  Silu  berhasil  memperkuat  pengaruh  Kerajaan  Samudra  Pasai  di  pantai  timur  Aceh dan berkembang menjadi kerajaan perdagangan yang kuat di Selat Malaka.[9]
Selain sistem pemerintahan yang teratur, Kerajaan Samudera Pasai juga telah memiliki mata uang dirham. Hal ini menunjukkan bahwa kerajaan ini pada saat itu merupakan kerajaan yang makmur.
Mata uang dirham dari Samudera Pasai tersebut pernah diteliti oleh H.K.J. Cowan untuk meunjukkan bukti-bukti sejarah raja-raja Pasai. Mata uang tersebut menggunakan nama-nama raja yang pernah memimpin kerajaan tersebut.
Raja-raja  Samudra  Pasai  selanjutnya  adalah  Sultan  Muhammad  Malik  Zahir  (1297-1326),  Sultan  Mahmud  Malik  Zahir  (1326-1345),  SultanManshur  Malik  Zahir  (1345-1346), dan  Sultan  Ahmad  Malik  Zahir  (1346-1383).  Raja  selanjutnya  adalah  Sultan  Zainal  Abidin (1383-1402).  Pada  masa  pemerintahannya,  kekuasaan  kerajaan  meliputi  daerah  Kedah  di Semenanjung   Malaya.   Sultan   Zainal   Abidi sangat   akti menyebarkan   pengaru Islam ke pulau  Jawa  dan  Sulawesi  dengan  mengirimkan  ahli-ahli  dakwah,  seperti  Maulana  Malik Ibrahim dan Maulana Ishak.
Urutan selanjutnya yaitu Sultan Nahrasiyah (1402- ?), Abu Zaid Malik al-Zahir (? -1455 M), Mahmud Malik al-Zahir (1455-1477 M), Zainal Abidin (1477-1500 M), Abdullah Malik al-Zahir (1500-1513 M), dan sultan yang terakhir adalah Zainal Abidin (1513-1524 M).
Kerajaan ini berlangsung sampai tahun 1524 M. Pada tahun 1921 kerajaan ini ditaklukka Portugis yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian tahun 1924 M dianeksasi oleh kerajaan Aceh Darussalam dibawah pimpinan Sultan  Ali Mughayyat Syah. Selanjutnya kerajaan ini menjadi daerah kekuasaan kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darusslam.[10]

            3. Kerajaan Aceh Daussalam
Kerajaan Aceh Darusslam didirikan pada tahun 1511 M oleh Sultan Ali Mughayyat Syah. Namun yang menjadi peletak dasar kerajaan ini adalah ayahnya yaitu Sultan Alaudin Riayat Syah. Raja pertama yang memimpin kerajaan ini adalah Ali Mughayyat Syah yang dinobatkan pada hari Ahad tanggal 1 Jumadil Awal 913 H (1511 M)[11]
Kerajaan ini terletak di daerah yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Besar. Di sini pula terletak ibukotanya. Kerajaan Aceh disinyalir berdiri pada abad ke-15 M, di atas puing-puing Kerajaan Lamuri, oleh Muzaffar Syah (1465-1497 M). Dialah yang membangun kota Aceh Darussalam.[12]
Menurut H. J. de Graff,[13] Aceh menerima Islam dari Pasai yang kini manjadi bagian wilayah Aceh, dan pergantian agama diperkirakan terjadi mendekati pertengahan abad ke-14. Menurutnya, kerajaan Aceh merupakan penyatuan dari dua kerajaan kecil, yaitu Lamuri dan Aceh Da>r al-Kama>l. Ia juga berpendapat bahwa rajanya yang pertama adalah Ali Mugghayyat Syah.
Ali Mughayyat Syah meluaskan wilayah kekuasaannya ke daerah Pidie yang bekerjasama dengan Portugis, kemudian ke Pasai pada tahun 1524 M. dengan kemenangannya terhadap dua kerajaan tersebut, Aceh dengan mudah melebarkan sayap kekuasaannya ke Sumatera Timur. Untuk mengatur daerah Sumatera Timur, raja Aceh mengirim panglima-panglimanya, salah seorang di antaranya adalah Gocah pahlawan yang menurunkan sultan-sultan Deli dan Serdang.[14]
Puncak kekuasaan kerajaan Aceh terletak pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M). Pada masnya Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir tiur dan barat Sumatera, mulai dari Aceh, Tanah Gayo, yang berbatasan dengannya juga di-Islamkan, begitu juga dengan Minangkabau. Hanya orang-orang kafir Batak yang berusaha menangkis kekuatan-kekuatan Islam yang dating, bahkan mereka melangkah begitu jauh sampai minta bantuan Portugis.[15]
Pengganti Sultan Iskandar Muda adalah Sultan Iskandar Tsani. Dia memerintah Aceh dengan system liberal, lembut dan adil. Pada masanya Aceh terus berkembang untuk masa beberapa tahun. Pengetahuan agama Islam maju dengan pesat. Akan tetapi kematiannya diikuti oleh masaa-masa bencana. Selain perkembangan kekuasaan dan perekonomian serta kekuatan politik negara, pada masanya kerajaan ini juga mengalami kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Hal ini ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh ulama seperti: Syeh Abdullah Arif (dari Arab), Hamzah al-Fans}uriy (tokoh Tasawuf), Syamsuddin al-Sumaterani (1630 M), dan Abdul Rauf Singkel (1693 M).[16]  
 Kemunduran kerajaan ini disebabkan karena semua penguasanya adalah perempuan (1641-1699 M), yaitu Sultanah Shafiyatuddin Syah, Sultanah Zakiyatuddin Syah, dan Sultanah Naqiyatuddin Syah. Kebesaran Kerajaan Aceh ini berakhir pada abad ke-18.

 4.      Kerajaan Siak
Kerajaan Siak terletak di Kepulauan Riau di Selat Malaka. Raja Siak pertama adalah Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1746 M). Kerajaan Siak memiliki wilayah yang luas. Penyebaran Islam di daerah ini berjalan dengan cepat. Kerajaan ini memiliki peran yang sangat besar dalam menghadapi imperialism Portugis dan Belanda.
Adapun raja-raja yang pernah memimpin kerajaan ini adalah:
a.       Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1746 M)
b.      Sultan Abdul Jalil Muzafar Syah (1746-1756 M)
c.       Sultan Ismail Abdul Jalil Jamaluddin Syah (1756-1766 M)
d.      Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1766-1780 M)
e.       Sultan Muhammad Ali Abdul Jail Muazam Syah (1780-1782)
f.       Sultan Yahya Abdul Jalil Muzafar Syah (1782-1784)
g.       Sultan Sayid Syarif Ali Abdul Jalil Saifuddin (1784-1810)
h.      Sultan Sayyid Syarif Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin (1810-1815)
i.        Sultan Sayid Syarif Ismail Abdul Jalil Saifuddin (1815-1864)
j.        Sultan Sayid Qasim Saifuddin I (1864-1889)
k.      Sultan Sayyid Syarif Hasyim Syaifuddin (1889-1908)
l.        Sultan Sayid Qasim Syaifuddin II (1908-1946)

4. Kerajaan Islam Palembang Darussalam
Pada awalnya Kesultanan Palembang termasuk dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Demak. Sultan pertama sekaligus pendiri kesultanan ini adalah Ki Gendeng Suro (1539-1572). Pendapat lain menyatakan Kerajaan Islam Palembang Darussalam didirikan oleh raja pertama  Sultan Abdul Rahman halifatul Mukminin  Sayidil Islam (1659-1706), dengan gelar pangeran Aria Kusuma Abdul Rahim.
Pada masanya kerajaan ini mengalami perkembangan yang sangat pesat terutama dalam bidang pengetahuan dan keilmuan. Hal ini karena pada waktu itu di sana terdapat ulama Arab yang menetap di Palembang an menyebarluaskan ajaran agama Islam. Di samping itu, Kesultanan Palembang juga menjadi bandar transit dan ekspor lada karena letaknya yang strategis. Karena hal tersebutlah, maka Belanda datang dan menguasai daerah ini, dan akhirnya Belanda menghapus Kesultanan Palembang setelah berhasil mengalahkan Sultan Mahmud Badaruddin (1724-1758 M). Salah satu peninggalan sejarah masa kejayaan kerajaan ini adalah Masjid Agung Palembang yang didirikan pada masa  kepemimpinan Sultan Abdul Rahman.[17]

C.    KERAJAAN-KERAJAAN  ISLAM DI JAWA
  1.  1. Kerajaan Demak
Perkembangan Islam di Jawa bersamaan waktunya dengan melemahnya posisi Raja Majapahit. Hal itu member peluang kepada penguasa-penguasa Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan yang independen. Sebagaimana dicatat dalam sejarah penyebaran Islam di tanah Jawa dilakukan oleh para wali songo (wali Sembilan).[18] Mereka tidak hanya berkuasa dalam lapangan keagamaan, tetapi juga dalam hal pemerintahan dan politik, bahkan sering kali seorang raja seolah-olah baru sah kalau ia sudah diakui dan diberkahi wali sanga. Di bawah pimpinan Suan Ampel Denta, wali sanga bersepakat mengangkat Raden Patah menjadi raja pertama kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, dengan gelar Senopati Jimbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama.[19] Raden Patah dalam menjalankan pemerintahannya, terutama dalam persoalan-persoalan agama dibantu oleh para ulama, wali sanga. Sebelumnya, Demak yang masih bernama Bintoro merupakan daerah vassal Majapahit yang diberikan raja Majapahit kepada Raden Patah. Daerah ini lambat laun menjadi pusat perkembangan agama Islam yang diselenggarakan oleh para wali.
Masa kekuasaan Raden Patah berlangsung kira-kira akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16 M. Disebutkan bahwa Raden patah adalah anak seorang raja Majapahit dari seorang ibu muslim keturunan Cempa. Raden Patah merupakan raja pertama Demak yang sangat berjasa dalam pengembangan agama Islam di daerah kekuasaannya. Setelah wafat ia digantikan oleh anaknya yang bernama Sabrang Lor, yang dikenal dengan nama Pati Unus (Adipati Yunus), yang ketika itu dia masih berumur 17 tahun yakni bertepatan dengan tahun 1507 M.
Setelah ia menduduki jabatan sebagai raja, ia merencanakan suatu serangan terhadap Malaka. Semangat perangnya semakin memuncak ketika Malaka ditaklukkan oleh Portugis tahun 1511 M. Serangan yang dilakukannya mengalami kegagalan karena kerasnya arus ombak dan kuatnya pasukan Portugis sehingga akhirnya ia kembali ke Demak tahun 1513.[20] Erkembang pesat di seluruh
Sepeninggal Sabrang Lor, kekuasaan diduduki oleh Sultan Trenggono yang dilantik oleh Sunan Gunungjati dengan gelar Sulta Ahmad Abdul Arifin. Sultan Trenggono memerintah Demak tahun 1524-1546 M. Pada masa ini agama Islam berkembang di seluruh tanah Jawa, bahkan sampai ke Kalimantan Selatan. Sultan Trenggono meninggal pada saat melakukan penyerangan ke Blambangan (1546) dan kedudukannya digantikan oleh adiknya, Sultan Prawoto. Pada masa kepemimpinan Sultan Prawoto Demak mengalami kerusuhan sehingga membuat dia mati terbunuh. Kemudian kedudukannya digantikan oleh Jaka Tingkir yang berhasil membunuh Aria Penangsang. Pada masa pemerintahannya inilah kemudian Kerajaan Demak dipindahkan ke Pajang. 

2. Kerajaan Pajang
Kerajaan Islam Pajang merupakan kelanjutan dari kerajaan islam Demak. Kerajaan Pajang didirikan oleh Jaka Tingkir  yang berasal dari Pengging. Ia adalah menantu Sultan Trenggono yang diberi kekuasaan di pajang. Setelah ia mengambil alih kekuasaan dari tangan aria Penangsang pada tahun 1546 M, seluruh kebesaran kerajaan dipindahkan ke Pajang, dan ia bergelar Sultan Hadiwijaya. Pada masanya sejarah Islam di Jawa mulai dikembangkan dalam format baru, titik politik pindah dari pesisir (Demak) ke pedalaman. Peralihan pusat politik itu membawa akibat yang sangat besar dalam perkembangan peradaban Islam di Jawa.
Pada masa Pemerintahan Sultan Hadiwijaya, perluasan wilayah mulai digalakkan, mulai dari pedalaman kea rah timur sampai ke Madiun. Setelah itu ia menaklukkan Blora pada tahun 1554 M, dan Kediri pada tahun 1577M. pada tahun 1581 M ia mendapat pengakuan dari para raja Jawa sebagai Raja Islam. Pada masa pemerintahannya kesusastraan dan kesenian keratin yang sudah maju di Demak dan Jepara lamban laun dikenal di pedalaman Jawa. Demikian pula pengaruh Islam semakin kuat di Pedalaman Jawa.
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya pada tahun 1587 M kedudukannya digantikan oleh menantunya, Aria Panggiri, anak Sunan Prawoto, sementara anaknya sendiri, Pangeran Benowo diberi kekuasaan di Jipang. Akan tetapi ia mengadakan pemberontakan kepada Aria Panggiri dengan mendapat bantuan dari Senopati Mataram. Usahanya tersebut berhasil dan ia mendapat tanda terima kasih dari Senopati berupa hak atas warisan ayahnya. Akan tetapi, ia menolak tawaran tersebut dan hanya meminta pusaka kerajaan Pajang untuk dipindahkan ke Mataram. Dengan demikian, kerajaan Pajang berada di bawah perlindungan Mataram, yang kemudian menjadi daerah kekuasaan Mataram.[21] Riwayat kerajaan Pajang berakhir tahun 1618. Kerajaan Pajang waktu itu memberontak terhadap Mataram yang ketika itu dibawah kekuasaan Sultan Agung. Pajang dihancurkan, rajanya melarikan diri ke Giri dan Surabaya.[22]

3. Kerajaan Mataram
Kerajaan Islam Mataram didirikan oleh Panembahan Senopati. Setelah permohonan senopati mataram atas penguasa Pajang berupa pusaka kerajaan dikabulkan, keinginannya untuk menjadi raja sebenarnya telah terpenuhi.[23] Sebab dalam tradisi Jawa, penyerahan seperti itu berarti penyerahan kekuasaan. Senopati berkuasa sampai tahun 1601 M. sepeninggalnya, ia digantikan oleh putranya yang bernama Mas Jolang yang terkenal dengan Sultan Seda Ing Krapyak yang memerintah sampai Tahun 1613 M. Sultan  Seda Ing Krapyak kemudian digantikan oleh Sultan agung yang bergelar Sultan Agung Hanjakrakusuma Sayidin Panatangama Khalifatullah Ing Tanah Jawi (1613-1646 M).
Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah Kintak bersenjata antara kerajaan Mataram Islam dengan VOC mulai terjadi. Pada tahun 1646 M, Sultan Agung digantikan oleh putranya yaitu Amangkurat I. pada masanya terjadi perang saudara dengan Pangeran Alit yang mendapat dukungan dari para ulama yang bertolak dari keprihatinan agama.[24] Tindakan pertama pemerintahanya adalah menumpas pendukung Pangeran Alit dengan membunuh banyak ulama yang dicurigai. Ia yakin bahwa ulama dan santri merupakan bahaya bagi tahtanya. Sekitar 5000-6000 ulama beserta keluarganya dibunuh (1647). Amangkurat I bahkan merasa tidak memerluka titel ‘Sultan”.[25] Pada tahun 1677 M pemberontakan ulama muncul kembali dengan tokoh spiritual Raden Kajoran. Pemberontakan-pemberontakan seperti itulah yang mengakibatkan runtuhnya Kerajaan Mataram.

4. Kerajaan Cirebon
Kerajaan Cirebon merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Kerajaan itu didirikan oleh Sunan Gunungjati. Sunan Gunungjati diperkirakan lahir pada tahun 1448 M dan wafat pada tahun 1568 M dalam usia 120 tahun. Karena kedudukannya sebagai salah satu ulama yang termasuk dalam kelompok Wali Sanga, ia mendapat penghormatan dari raja-raja di Jawa seperti Demak dan Pajang. Setelah Cirebon resmi berdiri senagai sebuah kerajaan Islam yang merdeka dari kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunungjati berusaha meruntuhkan Pajajaran yang masih belum menganut ajaran agama Islam.
Dari Cirebon Sunan Gunungjati mengembangkan ajaran agama Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten.
Setelah Sunan Gunungjati wafat, ia digantikan oleh cicitnya yang bergelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu. Panembahan Ratu wafat pada tahun 1650 M dan digantikan oleh putranya yaitu Panembahan Girlaya. Sepeninggalnya Kesultanan Cirebon diperintah oleh dua orang putranya, yaitu martawijaya atau Panembahan Sepuh yang memerintah Kesultanan Kesepuhan dengan gelar Syamsuddin dan Kartawijaya atau Panembahan anom yang memerintah Kesultanan Kanaman dengan gelar Badruddin.

5. Kerajaan Banten
Kesultanan  Banten  berawal  ketika  Kesultanan  Demak  memperluas  pengaruhnya  ke  daerah barat Pad tahu 1524/1525,   Sunan   Gunung   Jat bersama   pasukan   Demak   merebut pelabuhan Banten dari kerajaan Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut sumber Portugis, sebelumnya  Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda Kalapa dan Cimanuk.
Setelah penaklukan tersebut, Sunan Gunung jati kembali ke Cirebon dan kekuasaannya diserahkan kepada anaknya yaitu Sultan Hasanuddin. Hasanuddin kemudian menikahi putrid Demak dan diresmikan menjadi Panembahan Banten pada tahun 1552 M. Ia meneruskan usaha-usaha ayahnya dalam meluaskan wilayah Islam, yaitu ke Lampung dan daerah sekitarnya di Sumatera Selatan, yang sebelumnya tahun 1527 menaklukkan Sunda Kelapa.
Pada tahun 1568 M, ketika kekuasaan Demak beralih ke Pajang, Sultan Hasanuddin memerdekakan Banten. Oleh karena itu, ia dianggap sebagai raja Islam pertama di Banten. Ketika ia meninggal tahun 1570 M, kedudukannya digantikan oleh putranya yaitu Pangeran Yususf. Pangeran Yusuf menaklukkan Pakuwan pada tahun 1579 M sehingga banyak bangasawan Sunda yang masuk Islam.
Setelah Pangeran Yusuf meninggal pada tahun 1580 M, ia digantikan oleh putranya, maulana Muhammad yang masih muda belia. Maulana Muhammad bergelar Kanjeng Ratu Banten. Karena masih muda kekuasaan dipegang oleh seorang  Qadhi yang bersama  empat orang pebesar lainnya. Maulana Muhammad meninggal pada tahun 1596 dalam usia 25 tahun ketika melakukan serangan terhadap Raja Palembang. Setelah itu kedudukannya digantikan oleh anaknya yang masih kecil, berumur lima bulan yang bernama Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir. Ia memerintah secara resmi pada tahun 1638 M. ia mendapat gelar Sultan dari Mekah. Dialah raja banten pertama yang mendapat gelar sultan yang sebenarnya. Ia meninggal tahun 1651 dan digantikan oleh cucunya Sultan Abulfath Abdulfath atau yang dikenal dengan nama Sultan agung Tirtayasa.
Pada masa pemerintahan Sultan agung Tirtayasa terjadi beberapa kali peperangan antara Banten dengan VOC. Hal ini terjadi karena Sultan agung Tirtayasa antiBelanda. Sikapnya yang anti-Belanda itu mendapat dukungan dari seorang ulama berpengaruh, yaitu Syekh Yusuf yang berasal dari Makasar. Peperangan itu baru berakhir dengan disetujuinya perjanjia perdamaian pada tahun 1659 M.[26]
Kerajaan  Banten  mencapai  puncak  kejayaannya  pada  masa  pemerintahan Sultan  Ageng  Tirtayasa.  Saat  itu  Pelabuhan Banten  telah  menjadi  pelabuhan  internasional  sehingga  perekonomian  Banten  maju  pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut kesultanan Mataram dan  serta  wilayah  yang  sekarang  menjadi  provinsi  Lampung.  Piagam  Bojong  menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai oleh kesultanan Banten.
Pada   zaman   pemerintaha Sultan   Haji tepatny pad 1 Maret   1682, wilayah Lampung  diserahkan  kepada  VOC.  seperti  tertera  dalam  surat  Sultan  Haji  kepada  Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung.
Kesultanan  Banten  dihapuskan  tahun  1813  oleh  pemerintah  kolonial  Inggris.  Pada tahun  itu,  Sultan  Muhamad  Syafiuddin  dilucuti  dan  dipaksa  turun  takhta  oleh  Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur- Jenderal Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.[27]

D.    KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI KALIMANTAN
            
            1. Kerajaan Banjar (Kalimantan Selatan)
Kesultanan Banjar merupakan kesultanan Islam yang terletak di Kalimantan bagian Selatan. Kesultanan ini pada awalnya bernama Daha,[28] sebuah kerajaan Hindu yang berubah menjadi kesultanan Islam. Kesultanan Banjar berdiri pada tahun 1595 dengan penguasa pertama Sultan Suriansyah. Islam masuk ke wilayah ini pada tahun 1470, bersamaan dengan melemahnya Kerajaan Mjapahit di Pulau Jawa.
Kerajaan Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Samudera berperang dengan kerajaaan Daha. Kemudian Pangeran Samudera meminta bantuan ke Demak dengan janji jika menang maka raja beserta penduduknya akan masuk Islam. Maka berangkatlah tentara Demak menyerbu Kerajaan Daha. Dalam peperangan itu, kerajaan Banjar yang dibantu Demak menang. Sejak itu Pangeran Samudera masuk Islam, dan kerajaan Banjar dinyatakan sebagai kerajaan Islam pada tahun 1550 M.
Ketika Sultan Suryanullah naik tahta beberapa daerah di sekitarnya sudah mengakui kekuasaannya yakni daerah Sambas, Batanglawai, Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Medawi, dan Sambangan.[29]
Penyebaran Islam secara luas dilakukan oleh Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, seorang ulama yang menjadi mufti besar Kalimantan. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Sryanullah. Setelah Sultan Suryanullah wafat, ia digantikan oleh puteranya Sultan Hidayatullah, dan kemudia dia digantikan oleh Marhum Panambahan yang dikenal dengan Sultan Muata’inullah. Pada masanya, ibukota kerajaan dipindahkan beberapa kali, pertama ke Amuntai, kemudian ke Tambangan, dan Batang Banju, dan akhirnya ke Amuntai kembali. Perpindahan ibukota tersebut terjadi akibat datangnya  pihak Belanda ke Banjar dan menimbulkan huru-hara.
Kesultanan Banjar mengalami kemunduran dengan terjadinya pergolakan masyarakat yang menentang pengangkatan Pangeran TamjidillaBelanda h (1857-1859 M) sebagai sultan oleh Belanda. Kemudian pada tahun 1859-1905 M terjadilah Perang Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Antasari melawan Belanda. Akibat perang ini Belanda menghapuskan kesultanan Banjar pada tahun 1860 M. peninggalan sejarah Kerajaan Banjar dapat dilihat dari bangunan masjid di Desa Kuin, Banjar barat (Banjarmasin) yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Tamjidillah.[30]  

2. Kerajaan Kutai (Kalimantan Timur)
Menurut risalah Kutai, dua orang penyebar Islam tiba di Kutai pada masa pemerintahan Raja Mahkota. Salah seorang di antaranya adalah Tuan di Bandang, yang dikenal dengan Datuk Ri Bandang dari Makasar. Seorang lainnya adalah Tuan Tunggang Parangan.[31] Setelah peng-Islaman itu, Datuk Ri Bandang kembali ke Makasar sementara Tuan Tunggang Parangan tetap di Kutai. Melalui yang terakhir inilah Raja Mahkota tunduk kepada keimanan Islam. Setelah itu segera dibangun sebuah masjid dan pengajaran agama dapat dimulai. Orang pertama yang mengikuti pengajaran tersebut adalah Raja Mahkota sendiri, pangeran, para menteri, panglima, dan hulubalang, hingga akhirnya semua warga Kutai.
Sejak saat itu Raja Mahkota berusaha keras menyebarkan agama Islam dengan pedang. Proses islamisasi di Kutai dan daerah sekitarnya diperkirakan terjadi pada tahun 1575 M. penyebaran lebih jauh ke daerah-daerah pedalaman dilakukan terutama pada waktu puteranya, Aji di Langgar (Aji Sultan Muhammad Salehuddin) dan pengganti-penggantinya meneruskan perang ke daerah Muara Kaman.
Pada masa pemerintahan Aji di Langgar inilah Kerajaan Kutai mencapai puncak kejayaan. Kerajaan Kutai mengalami kemunduran setelah Aji Sultan Muhammad Salehuddin meninggal dunia. Peninggalan sejarah Kerajaan Kutai berupa makam para sultan di Kutai Lama (dekat Anggana).

3. Kerajaan Sukadana (Kalimantan Barat)
Kerajaan Islam Sukadana terletak di barat daya Kalimantan. Sekitar tahun 1590 M, Sukadana berada di bawah pengaruh Kerajaan Demak. Raja Sukadana yang pertama masuk Islam adalah Giri Kusuma, kemudian ia dinobatkan menjadi raja Islam pertama di kerajaan Islam Sukadana. Raja-raja Sukadana yang banyak berjasa dalam penyiaran Islam di Kalimantan adalah Giri Kusuma yang menjadi raja pada tahun 1590 M dan Sultan Muhammad Syafruddin yang meninggal pada tahun 1677 M.
Pada tahun 1752 M, Kerajaan Islam sukadana melepaskan diri dari pengaruh kerajaan Demak. Kerajaan ini akhirnya runtuh karena kedatangan Belanda yang menjajah wilayah Kalimantan pada tahun 1787.  Kerajaan Islam Sukadana berumur satu abad.

E.     KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI
 
                  1. Kerajaan Gowa-Tallo, Bone, Wajo Soppeng, dan Luwu
Kerajaan Gowa-Tallo adalah kerajaan kembar yang saling berbatasan. Kedua kerajan ini biasanya disebut dengan kerajaan Makassar. Kerajaan ini terletak di Semenanjung barat daya pulau Sulawesi, yang merupakan daerah transit perdagangan internasional yang sangat strategis.
Sejak Gowa-Tallo tampil sebagai pusat perdagangan laut, kerajaan ini menjalin hubungan baik dengan Ternate. Ketika itulah raja Ternate berusaha mengajak penguasa Gowa-Tallo untuk masuk Islam, tetapi gagal.
Islam diterima di kerajaan Makassar setelah kedatangan Datuk Ri Bandang ke Gowa-Tallo. Raja pertama yang masuk Islam adalah Sultan Alauddin (1591-1636 M). dia bergelar Sultan ‘Alauddin Awwalul Islam. Setelah itulah diproklamirkan bahwa kerajaan Makassar sebagai kerajaan Islam Makassar pada tahun 1603 M.
Penyebaran Islam setelah itu berlangsung sesuai dengan tradisi yang telah lama diterima leh para raja, keturunan To Manurung. Tradisi tersebut mengharuskan seorang raja untuk memberitahukan “hal baik” kepada yang lain. Oleh karena itu kerajaan Makassar menyampaikan ajaran Islam kepada kerajaan-kerajaan lain seperti Luwu, Wajo, Soppeng, dan Bone.[32]
Setelah sultan Alauddin wafat, pemangku kerajaan digantikan oleh Sultan Said (1638-1653). Setelah Sultan Said wafat ia digantika oleh Sultan Hasanuddin. Pada masa kekuasaannya, Kerajaan Makassar mencapai masa gemilang, sebab pada saat itu Sultan Hasanuddin melakukan ekspansi ke seluruh wilayah Sulawesi. Wilayah kekuasaanya meliputi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan pulau-pulau sekitarnya termasuk Sumbawa.
Sultan hasanuddin pada saat berkuasa berniat untuk menjadikan Makassar sebagai penguasa tunggal di jalur perdagangan Indonesia Timur. Oleh seab itu, dia harus menghadapi kekuatan Armada VOC Belanda sebelum dapat menguasai Maluku.
Belanda berusaha keras menghentikan serangan-serangan kerajaan Makassar. Untuk itu Belanda bersekutu dengan raja Bone yang bernama Aru Palaka.[33] Aru Palaka bersedia membantu Belanda dengan syarat akan diberikan kemerdekaan. Pada tahun 1667 dengan bantuan kerajaan Bone Belanda berhasil menekan kerajaan Makassar untuk menyetujui perjanjian Bongaya.[34]
Setelah Sultan Hasanuddin turun tahta pada tahun 1669 M, Maspasomba puteranya berusaha menggantikan kepemimpinan ayahya dan meneruskan perjuangan ayhya melawan Belanda.namun pada akhirnya pasukan Kerajaan Makassar dapat dipukul mundur oleh Belanda dan jalur perdagangan dikuasai oleh Belanda.

2                2. Kerajaan Buton
Kerajaan Buton merupakan kerajaan Islam yang terletak di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Kerajaan Buton menjadi kerajaan islam setelah Halu Oleo, raja keena kerajaan tersebut memeluk agama Islam. Penyebaran Islam secara luas di daerah ini dilakukan oleh Syaikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaima>n  al-Pat}a>niy. Peninggalan sejarah kerajaan Buton berupa benteng keratin dan Batupoara yaitu batu tepat berkhalwat (mengasingkan diri) syaikh Abdul Wahid di akhir keberadaannya di Buton. Ketajaan Buton selanjutnya berada di bawah kekuasaan kerajaan Makassar.

3. Kerajaan Bima
Kerajaan Bima adalah kerajaan Islam yang terletak di Pulau Sumbawa bagian Timur. Kerajaan Bima berubah menjadi Kerajaan islam pada tahun 1620 M setelah rajanya, La Ka’I memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Abdul Khair.
Sepeninggal La-Ka’i, penerus kerajaan dipangku oleh Sultan Abdul Khair Sirajuddin (1640-1682 M). kerajaan Bima menjadi pusat penyebaran Islam kedua di Timur Nusantara setelah kerajaan Makassar. Kerajaan Bima berakhir pada tahun 1951, ketika Muhammad Salahuddin, sultan terakhir wafat. Peninggalan kerajaan Bima antara lain berupa kompleks istana yang dilengkapi dengan pintu lare-lare atau pintu gerbang kesultanan.

F.     KERAJAAN-KERAJAAN ISLA DI MALUKU
            1. Kerajaan Ternate
Islam masuk ke Maluku pada pertengahan terakhir abad ke-15. Sekitar tahun 1460 raja Ternate memeluk agama Islam. Nama raja itu adalah Vongi Tidore. Ia mengambil seorang istri keturnan ningrat dari Jawa.[35]  Sepeninggal raja Vongi, tahta kerajaan dilanjutkan oleh putranya  yangbernama Zainal Abidin Sultan Ternate. Pada tahun 1459, ia merantau ke Jawa belajar agama Islam kepada Sunan Giri dan urusan pemerintahan diserahkan kepada wakilnya.
Setelah Sultan Ternate wafat, kerajaan dilanjutkan oleh Sultan Khairun. Pada saat pemerintahannya (1564) Portugis mendatangi daerah tersebut dan berusaha mengkristenisasi wilayah Ternate, namun hal tersebut tidak mendatangkan hasil. Akan tetapi Portugis telah berhasil menguasai Ternate dengan mengadakan perjanjian bahwa Ternate berada di bawah perlindungan kerajaan Portugis. Pada waktu itu Portugis telah menjajah Malaka dan yang memerintah di sana adalah Gubernur Portugis yang bernama de Mesquita.
Pada tahun 1565, Sultan Khairun melakukan Perang Sabil melawan kesewenang-wenangan de Mesquita di Ternate. Karena terdesak, Portugis mengadakan perjanjian, tetapi ketka penandatanganan perjanjian tersebut Sultan Khairun dibunuh.
Pengganti Sultan Khairun adalah Sultan Baabullah (1570-1583). Sultan Baabullah melakukan perang secara total terhadap Portugis. Perang antara tentara Ternate dan tentara Portugis dimenangkan oleh Ternate pada tahun 1575. Sepeninggal Baabullah digantikan oleh anaknya Saiduddin Barakat.

2. Kerajaan Tidore
Kerajaan Tidore semasa dengan kerajaan Ternate, wilayah kerajaan ini meliputi sebagian Halmahera, Pantai Barat Irian Jaya, dan sebagain kepualauan Seram. Raja Tidore yang pertama kali memeluk agama Islam adalah Cirali Litju, yang kemudian berganti nama menjadi Sultan Jamaluddin.[36]
Ketika Spanyol datang ke Maluku pada tahun 1521 M mereka telah mendapati kerajaan Islam Tidore, dan kerajaan ini telah ada 50 tahun sebelumnya. Setelah Sultan Jamaluddin meninggal, digantikan oleh putranya Sultan Mansur.

3. Kerajaan Bacan
Kerajaan Bacan adalah salah kerajaan kecil di Maluku. Pada tahun 1521 Raja bacan memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Sultan Zainul Abidin. Wilayah kerajaan Bacan meliputi kepulauan Bacan, Obi, Waigeo, Salawati, dan Misool. Kerajaan Bacaan adalah salah satu Kerajaan islam yang tergabung dalam Uli Lima yaitu persekutuan antara lima saudara yang dipimpin oleh Ternate ketika permintaan cengkeh dan pala dari Negara Eropa meningkat. Setelah Portugis dating ke Maluku menguasai seluruh daerah Maluku, para sultan di Kerajaan Bacan dipaksa Portugis untuk memeluk agama Kristen.

4. Kerajaan Jailolo (Halmahera)
Kerajaan Jailolo berdiri pada tahun 1521 M. Raja Jailolo yang pertama kali masuk islam adalah raja kesembilan. Setelah masuk Islam raja tersebut berganti nama dengan nama Sultan Hasanudin. Wilayah kerajaan ini meliputi sebagian Halmahera dan pesisir utara Pulau Seram. Kerajaan Jailolo adalah salah satu kerajaan Islam yang tergabung dalam Uli Siwa yaitu persekutuan antara Sembilan bersaudara yang dipimpin oleh Tidore, yang merupakan saingan Uli Lima dalam perdagangan rempah-rempah.[37] Perseteruan ini terjadi setelah para pedagang Eropa dating ke Maluku. Salah satu Negara Eropa yang bertandang ke Maluku adalah Portugis. Setelah Portugis berhasil menguasai daerah-daerah di Maluku salah satunya adalah Jailolo, mereka memaksa Kerajaan islam jailolo untuk masuk Kristen.

G.    SIMPULAN
Uraian di atas meunjukkan bahwa Islam mengalami kejayaan di Nusantara sudah sejak awal abad ketujuh Masehi atau berbarengan dengan abad pertama Hijriyah. Islam dapat masuk dengan leluasa di Nusantara karena Indonesia khususnya Sumatera merupakan tempat transit perdagangan para saudagar dari Arab, Cina, dan India. Hal tersebut membuat asimilasi budaya Indonesia dengan Negara-negara pedagang tersebut berjalan dengan mudah dan lancar. Selain itu agama Islam dapat dengan mudah diterima di Nusantara karena ajarannya tidak memaksa dan bahkan ada kemiripan dengan ajaran Hindu-Budha yakni dengan ajarannya tasawuf, cara pendekatan diri kepada yang kuasa, sehingga jalur tasawuf juga disebut-sebut sebagai jalur yang juga digunakan oleh para muballigh dalam menyebarkan ajaran agama islam.
Kejayaan islam di Nusantara terbukti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang telah ada sejak abad ketiga Hijriyah. Yaitu kerajaan Peureulak yang terdapat di Aceh, bahkan kejayaan Isam di Nusantara memuncak ketika Samudera Pasai yang disebut-sebut sebagai kerajaan Islam pertama di Nusantara menguasai beberapa daerah di Sumatera.
Kejayaan Islam nusantara juga dapat dilihat di Pulau Jawa. Yang mana penyebaran Islam dilakukan dengan cepat terhadap kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha  yang diprakarsai oleh Wali Sanga (Wali Sembilan), yang juga disebut-sebut sebagai para ulama yang membabad tanah Jawa menjadi daerah Muslim.
Islam di Nusantara juga telah menyebar di seluruh kepulauan Kalimantan dan Sulawesi, bahkan di kepulauan Maluku. Hal ini terlihat dari munculnya kerajaan-kerajaan Islam seperti Ternate-Tidore di Maluku, Kerajaan Gowa-tallo di Sulawesi, dan Kerajaan banjar di Kalimantan. Semua Kerajaan tersebut pada akhirnya harus hancur karena kedatangan para pedagang Eropa yang dating ke Nusantara untuk menjajah. Negara-negara tersebut adala Portugis yang menguasai Makassar dan Maluku, dan Belanda yang telah berhasil menjajah Indonesia selama tiga setengah abad. Kini kejayaan Islam pada masa sebelum kolonial Belanda dapat kita lihat melalui peninggalan-peninggalan sejarah yang menjadi bukti bahwa Islam pernah Berjaya di nusantara.

DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, Taufik (Ed.). 1992.  Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: MUI

------------------. 1987. Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Affandi , Bisri (ed.). 1993. Dirasah islamiyah III, Sejarah dan Kebudayaan Islam. Surabaya: Anika Bahagia Offest.

Amin, Samsul Munir. 2002. “Sejarah Masuknya Islam di Indonesia” dalam Manarul Qur’an, Edisi Juli.

-----------------. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.

Anshari, Endang Saifudin. 1990. Wawasan Islam. Jakarta: Rajawali Press.

As, Muhammad Syamsu. 1996. Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya. Jakarta: Lentera.

As, Nab Bahany. 2011. Rekonstruksi Sejarah Awal Berdirinya Kerajaan Islam di Nusantara dan Asia Tenggara  (Makalah disampaikan pada konferensi dan seminar internasional “Malikussaleh Dulu, Kini, dan yang Akan Datang” di Universitas Malikussaleh Lhoksmawe Aceh tanggal 11s.d. 12 Juli.

Graff, H. J. de. “Islam di Asia Tenggara sampai abad ke-18” dalam Azyumardi Azra. 1989. Perspektif Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Graff, H. J. de. 1987. Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapati. Jakarta: Grafitipers.

Hasjmy, A. 1989. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Bandung: Al-Maarif.

Kartodirdjo, Sartono. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, jilid I. Jakarta: Gramedia.

Muljana, Slamet. 2007. Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Tumbuhnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKis.
Ras, J.J. 1968. Hikayat Banjar: A Study in Malay Historiography. The Hague Martinus Nijhoff: KTLV.

Sarijo, Marwan. 1990. Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia . Jakarta: Darma Bakti.

Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandug: Pustaka Setia.

Tjandrasasmita, Uka (Ed.). 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.

Usman, Arani. 2003. Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisis Interaksionis, Integrasi, dan Konflik. Jakrta: Yayasan Obor.

Yatim, Badri. 2008.  Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Yusuf, Slamet Efendi. 1983. Dinamika Kaum Santri. Jakarta: Rajawali Press.

Zuhri, Saifuddin. 1981. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia . Bandung: al-Maarif.


[1] Endang Saifudin Anshari, Wawasan Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1990), 253.
[2]Samsul Munir Amin, “Sejarah Masuknya Islam di Indonesia”, dalam Manarul Qur’an, Edisi Juli 2002, 14. Hal tersebut juga merupakan simpulan seminar masuknya Islam ke Indonesia di Medan tahun 1963. Hasil seminar tersebut antara lain menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah dan langsung dari Arab, daerah pertama yang didatangi ialah Pesisir Sumatera, penyiarannya dilakukan dengan cara damai, dan dilakukan oleh para muballigh yang selain mentiarkan Islam juga berprofesi sebagai saudagar. Lihat Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia  (Bandung: al-Maarif, 1981), 176. Lihat juga A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Bandung: Al-Maarif, 1989), 213. Menurut hemat penulis, pendapat kedua lebih kuat, sebab beberapa alasan yang dikemukakan di atas, memungkinkan Islam telah masuk ke nusantara sejak Nabi Muhammad hidup dan memproklamirkan agama Islam.
[3] Marwan Sarijo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia  (Jakarta: Darma Bakti, 1990), 16.
[4] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010), 309-312.
[5] Arani usman, Sejarah Peradaban Aceh: Suatu Analisis Interaksionis, Integrasi, dan Konflik (Jakrta: Yayasan Obor, 2003), 8-9.
[6] Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya (Jakarta: Lentera, 1996), 9.
[7] Nab Bahany As, Rekonstruksi Sejjarah Awal Berdirinya Kerajaan Islam di Nusantara dan Asia Tenggara  (Makalah disampaikan pada konferensi dan seminar internasional “Malikussaleh Dulu, Kini, dan yang Akan Datang” di Universitas Malikussaleh Lhoksmawe Aceh tanggal 11s.d. 12 Juli 2011.
[8] Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Tumbuhnya Negara-Negara Islam di Nusantara (Yogyakarta: LKis, 2007), 130.
[9] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandug: Pustaka Setia, 2008), 195.
[10] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), 207-208.
[11] Amin, Sejarah Peradaban, 333.
[12] Haal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Anas Machmud dalam tulisannya yang berjudul “Turun Naiknya Peranan Kerajaan Aceh Darussalam di Pesisir Timur Pulau Sumatera” dalam A. Hasjmy, Sejarah Masuk, 286.
[13] H. J. de Graff, “Islam di Asia Tenggara sampai abad ke-18” dalam Azyumardi Azra (Ed.), Perspektif Islam di Asia Tenggara (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), 5.
[14] Badri Yatim, sejarah Peradaban, 209.
[15] Azyumardi Azra, Perspektif Islam, 6.
[16] Amin, Sejarah Peradaban, 333.
[17] Ibid., 334-335.
[18] Di Jawa berdasarkan cerita tradisonal dan babad-babad, yang mendapat gelar wali dianggap sebagai pembawa dan penyebar Islam di daerah-daerah pesisir. Tidaklah semua wali yang tergolong wali sanga berasal dari negeri luar, bahkan sebagian besar dari wali sanga menurut cerita dalam babad-babad berasal dari jawa sendiri. Lihat Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III (Jakarta: balai Pustaka, 1984), 197; lihat juga Slamet Efendi Yusuf, Dinamika Kaum Santri (Jakarta: Rajawali Press, 1983), 3.
[19] Taufik Abdullah (Ed.), sejarah Umat Islam Indonesia  (Jakarta: MUI 1992), 69.
[20] Amin, Sejarah Peradaban, 336; lihat juga Badri Yatim, Sejarah, 211.
[21] Ibid., 337.
[22] Yatim, Sejarah Peradaban, 214.
[23] Pusaka-pusaka kerajaan yang dimaksud di ataranya adalah Gong Kiai Sekar Dlima, Kendali Kiai Macan Guguh, dan Pelana iai Jatayu. Lihat H.J. de Graff, Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapati (Jakarta: Grafitipers. 1987), 95.
[24] Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, Pantulan Sejarah Indonesia  (Jakarta: LP3ES, 1987), 142.
[25] Ibid., 108.
[26] Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, jilid I (Jakarta: Gramedia, 1987), 14.
[27] Bisri Affandi (ed.), Dirasah islamiyah III, Sejarah dan Kebudayaan Islam (Surabaya: Anika Bahagia Offest, 1993), 254.
[28] Dikisahkan dalam Hikayat Banjar, bahwasannya kerajaan Daha dipimpin oleh Raja Sukarama, dia memiliki empat orang putra. Ketika Raja Sukarama merasa sudah hampir tiba ajalnya, ia berwasiat agar yang menggantikannya adalah cucunya yakni Pangeran Samudera yang kemudian mendapat gelar Sultan Suriansyah. Hal tersebut membuat anak-anaknya tidak terima terutama Sultan Tumanggung yang berambisi menduduki tahta kerajaan Daha. Setelah raja wafat kekuasaan dipegang oleh anak tertua yakni Pangeran Mangkubumi, namun tidak lama kemudian ia meninggal karena dibunuh oleh seseorang yang disuruh oeh Pangeran Tumanggung, akhirnya kedudukan raja diambil oleh Pangeran Tumanggung. Kemudian Pangeran Samudera menghimpun kekuatan dengan dibantu oleh seorang patih dan berhasil menguasai Muara Bahan. Dan kemudian ia meminta bantuan kerajaan Demak untuk merebut kekuasaan kerajaan Daha. Lihat J.J Ras, Hikayat Banjar: A Study in Malay Historiography (The Hague Martinus Nijhoff: KTLV, 1968), 376-398.
[29] Abdullah  (ed.), Sejarah, 87.
[30] Amin, Sejarah Peradaban, 340.
[31] Yatim, Sejarah Peradaban, 221.
[32] Raja Luwu segera menerima ajaran islam, sedangkan tiga kerajaan lain yang terikat dalam aliansi Tallumpoeco (tiga kerajaan) dalam perebutan hegemoni dengan Gowa-Tallo, menerima islam kemudian melalui peperangan. Wajo menerima islam pada tanggal 10 Mei 1610 dan Bone menerima islam tanggal 23 November 1611 M. adapun kerajaan Soppeng tidak dipastikan kapan menerima ajaran Islam. Lihat, Yatim, Sejarah Peradaban, 223-224.
[33] Sebagaimana diketahui bahwa Bone adalah saingan Gowa dalam perebutan hegemoni. Oleh karena itu meskipun sudah menganut ajaran Islam ia masih tetap ingin merdeka dari kekuasaan kerajaan Makassar. Bahkan peperangan-peperangan pun sering terjadi antara Bone dan Makassar sejak diterimanya Islam oleh kerajaan Bone. Lihat  Tjandrasasmita, Sejarah Nasinal, 98.
[34] Perjanjian Bongaya berisi tiga hal. Pertama, VOC mendapat hak monopoli dagang di Makassar. Kedua, Belanda dapat mendirikan benteng Routterdam di Makassar. Ketiga, Makassar harus melepas daerah yang dikuasainya dan mengakui Aru Palaka sebagai raja Bone. Ibid, 99.
[35] Menrut Amin Raja pertama Ternate masuk islam pada tahun 1465, nama raja tersebut adalahJraja Gapi Baguna atas ajakan Maulana Husein. Raja Gapi Baguna menduduki tahta hingga tahun 1486. Setelah ia wafat ia terkenal dengan sebutan Raja Marhum. (Lihat Amin, Sejarah Peradaban, 341). Berbeda dengan Amin, menurut H.J de Graff raja pertama yang benar-benar muslim adalah Zainal Abidin (1486-1500 M). di masa itu gelombang perdagangan Muslim terus meningkat, sehingga raja menyerah terhadap tekanan para pedagang muslim tersebut dan memutuskan belajar agama Islam di Madrasah Giri. Ia dikenal dengan nama Raja Bulawa. Ketika kembali dari Jawa ia mengajak Tuhubahabul ke daeahnya. Yang terakhir inilah kemudian dikenal sebagai penyebar utama Islam di kepualuan Maluku. (lihat de Graff, Islam, 14).
[36] Amin, Sejarah Peradaban, 342.
[37] Tjandrasasmita, Sejarah, 100.